Sejarah Mice berawal dari suksesnya Indonesia menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, pada tahun 1955, mulai disadari pentingnya memiliki Sumber Daya Manusia yang handal dalam mengorganisir penyelenggaraan Konvensi, baik tingkat Nasional maupun Internasional. Namun demikian, baru pada tahun 1991 melalui KepMen Parpostel No. KM.108/HM.703/MPPT-91, dan Keputusan Dirjen Pariwisata No. Kep-06/U/IV/1992 pemerintah menerapkan tata laksana Ketentuan Usaha Jasa Konvensi, Perjalanan Insentif dan Pameran atau dalam istilah lain disebut Meeting, Incentive, Convention and Exhibition (MICE).
Sejak saat itu industri MICE di Indonesia berkembang cukup pesat, dengan munculnya perusahaan yang bergerak sebagai Professional Convention Organizer (PCO), Professional Exhibition Organizer (PEO) maupun Event Organizer lainnya. Seiring dengan perkembangan industri MICE, kebutuhan Sumber Daya Manusia yang kompeten di bidang tersebut semakin tinggi. Namun, hingga saat ini belum ada lembaga pendidikan formal yang menawarkan program studi yang terkait dengan kebutuhan tersebut, sehingga pemenuhan kebutuhan SDM diambil alih oleh bidang- bidang lain.
Kemampuan menyelenggarakan event hingga saat ini diperoleh secara otodidak, seperti karyawan PCO dan PEO yang mendapatkan kemampuan penyelenggaraan event melalui proses learning by doing. Indonesia memiliki potensi dan kelebihan kompetitif dibanding negara lain dalam Bidang Pariwisata. Sektor ini dapat menjadi komoditas andalan sebagai tambang emas devisa negara. Selama ini, fokus utama kepariwisataan di Indonesia adalah mendatangkan sebanyak mungkin wisatawan mancanegara.
Wisatawan dimaksud kenyataannya lebih banyak wisatawan individu (individual tourist) yang secara perorangan hanya mengeluarkan devisa relatif tidak terlalu besar, sehingga bila kita berharap devisa bertambah dari kedatangan mereka, maka kita harus mampu mendatangkan sebanyak mungkin wisatawan. Cara yang dapat mendatangkan devisa lebih banyak sekaligus mempromosikan produk-produk Indonesia dan potensi lainnya, adalah melalui kegiatan Meeting, Incentive, Convention dan Exhibition (MICE) istilah MICE.
Usaha jasa ini merupakan usaha dengan kegiatan pokok memberikan jasa pelayanan bagi suatu pertemuan sekelompok orang (antara lain; negarawan, usahawan, cendekiawan) untuk membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama dan dapat diikuti dengan kegiatan pameran. Sedangkan kegiatan Incentive (Perjalanan Insentif) adalah kegiatan perjalanan yang dikemas dalam satu paket konvensi dan pameran. Seluruh kegiatan tersebut ada dalam paket terintegrasi.
Bentuk wisata MICE ini di Indonesia memiliki prospek cerah. Pada beberapa kota besar di Indonesia telah memiliki fasilitas yang dibutuhkan seperti: Convention Center, Exhibition Center, Hotel, Pusat Belanja dan tempat tujuan wisata. Namun respon kita agak terlambat dibanding negara lain dalam menyadari besarnya potensi usaha MICE. Kalau Anda tertarik pada hal-hal formal, usaha MICE sudah tercantum dalam sebuah undang-undang, yakni UU tentang Kepariwisataan yang disahkan pada 1990.
Jasa MICE termasuk salah satu dari tujuh usaha jasa pariwisata, yaitu usaha jasa biro perjalanan wisata; usaha jasa agen perjalanan wisata; usaha jasa pramuwisata; usaha jasa konvensi, perjalanan insentif, dan pameran; usaha jasa impresariat; usaha jasa konsultan pariwisata; dan usaha jasa informasi pariwisata. Yang dicetak tebal, itulah usaha jasa MICE.
Apakah karena tempatnya yang terselip dalam daftar usaha jasa pariwisata maka industri MICE di Indonesia belum begitu berkembang? Yang pasti, pemerintah pun membuat seperangkat peraturan teknis mengenai MICE. Setidaknya ada tiga lembaga-lembaga—Direktorat Jenderal Pengembangan dan Produk Pariwisata di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata indonesia; Menteri Perindustrian dan Perdagangan; dan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri—menurunkan peraturan tentang MICE sesuai bidang masing-masing.
Komentar Terbaru