Sharing is caring!

Salah satu bukti kehangatan toleransi di Kota Solo adalah adanya tradisi Gerebeg Sudiro. Perayaan ini umumnya diselenggarakan tujuh hari sebelum Tahun Baru China. Boulevard Pasar Gede Solo, tepatnya di Jl. Sudiroprajan, menjelma menjadi lautan manusia. Segala kemeriahan Grebeg Sudiro adalah lambang akulturasi tradisi Tionghoa dan Jawa.

Tradisi Grebeh Sudiro ini muncul pada tahun 2007 oleh warga Sudiroprajan yaitu Oei Bengki, Sarjono Lelono Putro, dan Kamajaya. Waktu itu, mereka bertiga berkumpul di Pasar Gedhe dan secara tidak sengaja menciptakan ide untuk membuat tradisi itu. Pada dasarnya, tujuan tradisi ini cukup sederhana, yaitu mengangkat nama Sudiroprajan agar dikenal masyarakat luas.

Pada awal-awal penyelenggarannya, Grebeg Sudiro sebenarnya hanyalah event kampung. Namun karena yang diperkenalkan adalah budaya yang unik antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa, Pemerintah Kota Solo memberi sambutan positif dan menjadikannya sebagai agenda tahunan pariwisata kota itu.

Selain itu, adanya tradisi Grebeg Sudiro juga bisa menarik para wisatawan untuk mengunjungi wilayah Sudiroprajan yang sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai wiraswasta. Inovasi dan kreativitas yang diciptakan para warganya membuat semakin banyak wisatawan yang tertarik untuk mengikuti tradisi itu.

Prosesi upacara tradisi itu meliputi persiapan material dan persiapan spiritual. Selain itu malam hari sebelum acara puncak berlangsung, diadakan ritual sedekah bumi berupa arak-arakan menyusuri kampung-kampung dengan iringi musik dan tarian tradisional yang diakhiri dengan doa demi keselamatan bangsa dan makan bersama.

Pada hari berikutnya, acara puncak digelar dengan menyelenggarakan kirab budaya kesenian tradisional yang mengiringi arak-arakan gunungan kue keranjang, makanan yang jadi ciri khas perayaan itu. Tradisi itu kemudian diakhiri dengan rebutan kue keranjang oleh warga ataupun penonton yang hadir. Ada 4.000 buah kue keranjang yang disiapkan untuk diperebutkan penonton yang dipercaya bisa membawa berkah